Jakarta, 28 Agustus 2025 – Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, kembali menjadi pusat perbincangan publik setelah muncul sebutan kontroversial “Si Ratu Pemeras” yang ramai di media sosial dan forum politik. Julukan ini memicu perdebatan sengit karena dinilai menyerang pribadi sekaligus mengkritik kebijakan fiskal pemerintah.
Julukan tersebut pertama kali viral setelah dilontarkan dalam sebuah forum diskusi publik yang menyoroti tingginya pungutan pajak serta sejumlah kebijakan keuangan yang dianggap membebani masyarakat.
“Masyarakat merasa ditekan dengan pajak ini-itu, seolah negara hanya tahu memeras rakyat. Tidak heran kalau muncul istilah ‘Ratu Pemeras’ untuk Menteri Keuangan,” ujar salah satu aktivis yang enggan disebutkan namanya.
Reaksi Publik
Tagar #RatuPemeras sempat merajai trending topic di X (Twitter) sejak Kamis pagi. Netizen terbelah dalam menanggapi isu ini. Sebagian mendukung dengan alasan kebijakan perpajakan memang terlalu memberatkan, sementara sebagian lain mengecam penggunaan julukan tersebut yang dianggap tidak pantas untuk pejabat negara.
Seorang warganet menulis:
“Pajak naik, tarif listrik naik, rakyat makin susah. Julukan ‘Ratu Pemeras’ itu ada benarnya.”
Namun ada pula yang membela Sri Mulyani:
“Beliau bekerja keras menjaga stabilitas keuangan negara. Menyebutnya ‘pemeras’ itu keterlaluan dan tidak menghargai jasanya.”
Tanggapan Sri Mulyani
Hingga berita ini diturunkan, Sri Mulyani belum memberikan komentar langsung soal julukan tersebut. Namun, dalam beberapa kesempatan sebelumnya ia menegaskan bahwa kebijakan fiskal dan perpajakan merupakan langkah yang sulit namun diperlukan untuk menjaga keuangan negara tetap stabil.
“Kebijakan pajak selalu tidak populer, tapi tanpa itu negara tidak bisa membiayai pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur,” ucap Sri Mulyani dalam pidatonya pekan lalu.
Pandangan Pengamat
Ekonom senior, Prof. Dedi Santoso, menilai munculnya julukan seperti “Ratu Pemeras” menunjukkan adanya krisis kepercayaan publik terhadap kebijakan fiskal.
“Bahasa kasar itu sebenarnya refleksi dari kekecewaan masyarakat. Pemerintah perlu lebih transparan agar rakyat paham bahwa pajak bukan untuk memeras, tapi untuk membiayai negara,” ujarnya.
Penutup
Kontroversi julukan “Si Ratu Pemeras” pada Sri Mulyani menunjukkan adanya jurang komunikasi antara pemerintah dan masyarakat terkait kebijakan keuangan. Perdebatan ini diprediksi masih akan terus berlanjut, seiring dengan naiknya tekanan ekonomi di tengah kondisi global yang tidak menentu.